PBSI 2017: A2_LINGUISTIK_TUGAS 6_KELOMPOK_5
PBSI 2017: A2_LINGUISTIK_TUGAS 6_KELOMPOK_5
SEMANTIK DAN PRAGMATIK
Semantik adalah cabang lingusitik yang mempelajari makna yang terkandung pada bahasa.semantik dikaitkan dengan dua aspek lainya,seperti sintaksis(pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana) serta prakmatik(penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konsep tertentu).
Dalam linguistik semantik adalah sub bidang yang di khususkan untuk study tentang makna seperti,tingkat kata,prasa,kalimat dan unit yang lebih besar dari wacana (teks). Sejak Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam study linguistik maka study semantik sebagai bagian study linguistik menjadi semarak.semantik tidak lagi menjadi objek tambahan melainkan menjadi objek yang setara dengan bidang-bidang study lainya.banyak perhatian di arahkan pada semantik berbagai teori tentang makna bermunculan seperti,pada komponen signifien dan signifie.maka sesungguhnya study linguistik tanpa disertai dengan study semantik tidak ada artinya.sebab kedua komponen itu signifian dan signifie merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan.
- Jenis-jenis makna
Makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata,kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem,maka berarti makna itu adalah pengertian yang dimiliki setiap morfem. (menurur Abdul Chaer tahun 2014 : 289-297)
- makna leksikal, gramatikal dan kontekstual
- makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun.
- Gramatikal berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses afiksasi prefikasasi ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju.
- Konstekstual, makna konstekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam suatu konteks. Misalnya makna kata jatuh “adik jatuh dari sepeda”. Contoh lain perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat berikut “rambut di kepala nenek belum ada yang putih.” Contoh lain “tiga kali empat berapa ?”.
- Makna referensial dan non-referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakana referensial kalau ada referens nya, atau acuannya contohnya kuda,merah,gambar. Termasuk kata-kata yang bermakna refernsial karena ada acuannya dalam dunia nyata. Sebaliknya kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah kata-kata yang tidak bermakna ferensial, karena kata-kata tersebut tidak memiliki referens. Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang deitik yang acuannya tidak menetap pada satu maujud melainkan dapat dipindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain.
- Contohnya ‘’Tadi pagi saya bertemu pak Ahmad”, kata Ani pada Ali. (ini contoh acuan tidak sama )
- Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, asal, makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah laksem. Umpamanya pada kata kurus bermakna denotatif dimana yang bermakna keadaan tubuh seseorang yang lebh keil dari ukuran normal. Maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelomopok yang menggunkan kata tersebut misal pada contoh diatas kata kurus berkonotasi netral. Artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakan, tetapi jika menjadi ramping yang sebenarnya bersinonim dengan kurus itu memiliki konotasi positif sebaliknya kata kerempeng yang sebenarnya bersinonim dengan kata kurus dan ramping itu mempunyai konotasi yang negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan , menjadikan orang tidak nyaman dikatakan seperti itu. Dari contoh tersebut secara denotatif mempunyai makna yang sama (sinonim), tetapi mempunyai konotasi yang sama.
- Makna konseptual dan makna asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi : makna konseptual dan makna asosiatif. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’. Jadi, makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, mskna referensial. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut. Jadi, kata melati yang bermakna konseptual ‘sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau wangi’ digunakan untuk menyatakan perlambangan “kesucian”.
Oleh Leech (1976) kedalam makna asosiasi ini dimasukkan juga yang disebut makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif makna kolokatif seperti yang dibicarakan sebelumnya,termasuk dalam makna asosiatif adalah karena kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan dengan pembedaan dengan pembedaan penggunaan kata sehubunga dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembaca terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa lisan. Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu dari sejumlah kata-kata bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya.
- Makna kata dan istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna yaitu makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal makna denotatif atau makna konseptual. Makna kata masih bersifat umum kasar dan tidak jelas contohnya tangannya luka kena pecahan kaca. Kata tangan dan lengan pada kalimat diatas adalah bersinonim atau bermakna sama. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunkan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
- Makna idiom dan peribahasa
Makna idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya. Baik secara gramatikal maupun leksikal. contoh bentuk menjual sepeda bermakna yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima sepeda tetapi bentuk menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu tetapi bermakna tertawa keras-keras makna seperti yang dimiliki bentuk mejual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Idiom dibedakan menjadi dua ideom penuh adalah idiom yang semua unsur unsur nya menjadi satu,sehingga makna berasal dari seluruh kesatuan itu contoh membanting tulang, menjual gigi. Dan ideom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri misal buku putih yang bermakna buku yang memuat keterangan gresmi mengenai suatu kasus, daftar hitam yang bermaknna nama-mana orang yang dicurigai berbuat jahat. Makna tersebut masih memiliki makna leksikalnya.
Sedangkan peribahasa memiliki makna yang masih bisa ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena ada asosiasi antara makna asliu dengan maknanya sebagai peribahasa. Misal, tong kosong nyaring bunyinya makna ini ditarik dari asosiasi tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang nyaring.
- Relasi Makna
Disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna.
- Sinonimi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.
- Antonimi dan Oposisi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata kecil.Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
- Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
- Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang. Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.
- Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
- Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaab sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.
- Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.
- Perubahan Makna
Kata-kata dalam bahasa tertentu mengalami perubahan arti.
- Perluasan makna (Generalisasi)
Generalisasi adalah suatu proses perubahan makna kata dari yang khusus ke yang lebih umum atau dari yang lebih sempit ke yang lebih luas.Contoh :
- Kata bapak dahulu bermakna ayah, sekarang semua orang yang lebih tinggi kedudukannya disebut bapak.
- Kata berlayar dahulu bermakna mengarungi laut dengan kapal yang memakai layar, sekarang mengarungi laut dengan semua jenis kapal, tanpa layar sekalipun.
- Bapaksaya mempunyai adik tiga orang.
(makna dasar/ lama : orang tua laki-laki – makna sekarang/baru : semua laki-laki yang lebih tua/ lebih tinggi kedudukannya)
- Pemimpin rapat adalah Bapak Amirudin.
- Para peserta umumnya bapak-bapak.
- Apakah Saudara mempinyai Saudara kembar ?
(saudara : anda, kamu – makna asal/ lama : famili/ hubungan darah)
- Penyempitan makna (Spesialisasi)
Spesialisasi adalah proses penyempitan makna kata.
Contoh :
- Kata sarjana dahulu bermakna cendekiawan/orang pandai, sekarang gelar kesarjanaan.
- Kata pembantu dahulu bermakna semua orang yang membantu, sekarang hanya terbatas pada pembantu rumah tangga.
- Nasinya bau jangan dimakan. (makna baru : basi, bau busuk)
- Anak kami yang pertama lulus sarjana. (makna baru : sarjana/ lulusan perguruan tinggi – makna asal/ lama : orang pandai)
- Di desa itu didirikan madrasah oleh yayasan Islam. (makna baru : sekolah berasaskan agama Islam/ TPA, MAN, MTS)
- Tetangga saya baru saja membeli TV berwarna. (makna lama : TV hitam putih – makna baru : berwarna : warna selain hitam putih)
- Peranan ulama sangat penting dalam masyarakat. (ulama : orang yang berilmu, orang yang ahli dalam agama Islam)
- Ameliorasi/ Amelioratif
Ameliorasi adalah makna yang baru dianggap lebih baik, lebih terhormat daripada makna yang lama /semula (yang bermakna sama).
Contoh :
- Kata istri dianggap lebih baik dan terhormat daripada bini.
- Kata melahirkan dianggap lebih baik daripada beranak.
- Kata tunawisma dianggap lebih baik daripada gelandangan.
- wafat – putri – tunadaksa – tunanetra
- wisma – gugur – tunagrahita
- wanita – pria – tunaghukum – tunaasa
- pramuniaga – pramuwisma – pramucara – tunakarya
- warakawuri – putra – tunarungu – tunaaksara
- Peyorasi/Peyoratif
Peyorasi adalah proses perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau lebih rendah daripada makna semula atau kata-kata yang dipandang lebih rendah/ buruk jika digunakan.
Contoh :
- Kata cerai dirasakan lebih kasar daripada kata talak.
- Kata mendengkur dirasakan lebih kasar daripada kata nyenyak.
- Kata penjara dirasakan lebih kasar daripada kata lembaga pemasyarakatan.
- minggat – beranak – perempuan
– bini - gerombolan – jongos – babu
- kawin dll. – bunting – laki
- Sinestesia
Sinestesia adalah perubahan makna kata akibat pertukaran tanggapan dua indra yang berbeda /perubahan makna kata yang timbul karena tanggapan dua indera yang berbeda.
Contoh :
- Kata-katamu sungguhpedas untuk didengar.Kata pedas seharusnya ditanggapi oleh indra perasa (bibir/mulut) tetapi justru ditanggapi oleh indra pendengaran.
- Pendengaranmu sungguh sangat tajam.Kata tajam seharusnya ditanggapi oleh indra perasa (kulit), tetapi justru ditanggapi oleh indra pendengaran.
- Sorot matanya cukup tajam menatapku.
- Dengan senyum pahit kuterima keputusan itu.
- Dengan sikap dingin kami diterima.
- Dengan kata masam kami ditolaknya.
- Asosiasi
Asosiasi adalah perubahan makna kata akibat persamaan sifat (makna yang dihubungkan dengan benda lain yang dianggap mempunyai kesamaan sifat. (makna kias).
Contoh :
- Ia memberi amplop kepada petugas sehingga urusannya cepat selesai. Kata amplop berasosiasi dengan sogok atau suap. (uang)
- Nilai matematikaku merah.
Kata merah berasosiasi dengan jelek, tidak baik.
- Perkaranya sudah dipetieskan. (sudah tidak diselidiki lagi)
- Masa lalunya yang hitam sudah berlalu (pengalaman buruk)
- Dia masih terlalu hijau untuk berumah tangga. (muda)
- Dari kacamata hukum, perbuatan itu dianggap melanggar UU. (sudut pandang)
Hati-hati menghadapi tukang catut di bioskop itu. (calo)
- Medan makna dan komponen makna
Setiap kata atau leksem dapat pula dianalisis unsur-unsur maknanya untuk mengetahui perbedaan makna antara kata tersebut dengan kata lainnya yang berada dalam satu kelompok.
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Sedangkan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimiliknya disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga analisis ciri-ciri leksikal.
Medan makna dan komponen makna terbagi menjadi tiga yaitu
- Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saing berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semsesta tertentu.
- Komponen makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu, berdasarka pengertian-pengertian yang dimiliknya.
- Kesesuaian Semantik dan sintaksis
Pada bahasan komponen makna telah disebutkan bahwa berterima tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal, tetapi juga masalah semantik. Jika kita kalimat berikut akan tampak perbedaan ketidakterimaannya
Contoh → Kambing yang Pak Udin terlepas lagi.
PRAGMATIK
Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa semiotik. Semiotik mengkaji bahasa verbal, lambang, simbol, tanda, serta pereferensian dan pemaknaannya dalam wahana kehidupan. Ilmu pragmatik mengkaji hubungan bahasa dengan konteks dan hubungan pemakaian bahasa dengan pemakai/ penuturnya. Dalam tindak operasionalnya, kajian pragmatik itu berupaya menjelaskan bagaimana bahasa itu melayani penuturnya dalam pemakaian. Apa yang dilakukan penutur dalam tindak tutur itu? Tata tutur apa yang beroperasi sehingga bertutur itu serasi dengan penutur, teman tutur, serta konteks alam tutur itu.
Menurut Kaswanti Purwa, 1990:16, pragmatik ialah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik. Maksudnya, makna setelah dikurangi semantik. yang digeluti cabang ilmu bahasa semantik ialah makna yang bebas konteks (context-independent), sedangkan makna yang digeluti oleh cabang ilmu bahasa pragmatik ialah makna yang terikat konteks (context-dependent) (Kaswanti Purwa, 1990:16). Yang dimaksud konteks disini antara lain: ihwal siapa yang mengatakan kepada siapa, tempat dan waktu diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat di dalam tindakan mengutarakan kalimat (Kaswanti Purwa, 1990:14).Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian ((Levinson, 1983 dalam Nababan, 1987:2).
Pragmatik dan Fungsi Bahasa
Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan kapur di kantor, dia dapat memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:
(1) Jupukna kapur!
(2) Kene ora ana kapur.
(3) Ibu ngersakake kapur.
(4) O, jebul ora ana kapur.
(5) Ing kene ora ana kapur, ya?
(6) Ngapa ora padha gelem njupuk kapur?
Dengan demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat deklaratif seperti tuturan (2-4), atau kalimat interogatif seperti tuturan (5-6). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).
PERBANDINGAN PRAGMATIK DAN SEMANTIK
Sebelum dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
- Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
- Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”
- Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan Wijana, 1996: 3).
Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
- Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris.
Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics(Thomas 1995: 30).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8).
Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
- Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
- Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan.Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58).
Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh
(5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan,
sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
- Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu.
Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antaracue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan.
- Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
d. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).
DAFTAR PUSTAKA
- Chaer,Abdul.2014,Buku Linguistik Umum
(edisi baru).Jakarta:Rineka Cipta
Komentar
Posting Komentar